Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan

Pidato Soekarno ‘Ganyang Malaysia’

Pada 20 Januari 1963, Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Bangsa ini tidak terima dengan tindakan demonstrasi anti-Indonesia yang menginjak-injak lambang negara Indonesia, Garuda.

Untuk balas dendam, Presiden Soekarno melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Soekarno memproklamirkan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato pada 27 Juli 1963. Berikut isinya:

Kalau kita lapar itu biasa

Kalau kita malu itu juga biasa

Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!

Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo…ayoo… kita… Ganjang…

Ganjang… Malaysia

Ganjang… Malaysia

Bulatkan tekad

Semangat kita badja

Peluru kita banjak

Njawa kita banjak

Bila perlu satoe-satoe!

Bisa terbakar semangat patriotisme bangsa Indonesia mendengar pidato Soekarno itu. Kedaulatan Indonesia dianggap harga mati bagi Proklamator Republik Indonesia itu. (Her)
Sumber : Inilah.com

DILEMA KPU DALAM VERIVIKASI CALEG

Semakin dekatnya Pemilu 2009, menjadikan intensitan kegiatan di KPU semakin tinggi. Tahapan demi tahapan Pemilu hampir mencapai puncak yang hanya tinggal beberapa hari lagi (9 April 2009). Mungkinkah diantara para calon anggota dewan yang mencapai jumlah ribuan tersebut bersih dari cacat hukum (pernah mendekam di penjara sampai lima tahun)? Mungkin pertanyaan yang mudah dijawab sekaligus membingungkan. Bagi yang sudah masuk dalam daftar calon tetap (DCT), tentu lengkap persyaratannya termasuk SKCK, sehingga KPU meloloskan sebagai Calon Wakil Rakyat.

Jika dilihat dari sisi lain mungkin masih ada celah yang menjadi pertanyaan bagi kita semua. Lantas bagaimana dengan masa silam sang Calon? Apakah selama ini selalu menetap di daerah pemilihan tersebut? Mungkin juga pertanyaan ini yang sering kali menjadikan kerja KPU dalam mem-Verifikasi administrasi sang kandidat terkadang menimbulkan tanda Tanya. Mengenai masalah apakah seseorang yang ikut berkompetisi di Pemilu nanti pernah menjalani hukuman lebih dari lima tahun di suatu daerah yang bukan dalam lingkup hukum daerah pemilihannnya terdeteksi?. Tentu KPU hanya akan berpedoman pada SKCK yang diterbitkan dari Polres, sedangkan wilayah hukum Polres hanya sebatas lingkup kabupaten. Apabila Polres tidak mendapat informasi/laporan mengenai catatan hitam seseorang dimasa lampaunya, tentu SKCK juga akan diterbitkan.

Tercermin dari Pilkada Bengkulu selatan 2008 putaran ke dua yang dimentahkan oleh MK. Disatu sisi lemahnya system administrasi bagi orang yang pernah tersandung hukum masih lemah. Terbukti catatan hitam (pernah menjalani hukuman) seseorang tidak bisa didapati di seluruh kantor Polisi dan catatan sipil atu instansi terkait lainnya. Bila hal ini berlarut di negeri ini, bukan tidak mungkin kasus Pilkada Bengkulu Selatan terulang pada pemilu nanti.

Kartu Identitas Khusus “ON-LINE”

Kartu identitas yang dimaksudkan adalah identitas orang yang dapat diakses pada instansi yang terkait di seluruh wilayah hukum Indonesia. Mungkin gambarannya mirip dengan nomor rekening Bank on-line, bisa memasukkan dan mengambil uang dimanapun ia suka pada bank yang sama bahkan sekarang sudah ada ATM bersama.

Berkenaan dengan perekrutan yang dilakukan KPU, mungkin ini merupakan salah satu alternative yang bisa dijalankan. Sehingga tidak ada lagi istilah salah menetapkan calon Wakil Rakyat yang bersih, tidak pernah menjalani hukuman. Selain itu, hal ini juga akan sangat membantu tugas kepolisian dalam membuat SKCK.

Memahami Politik NU

Godaan politik praktis begitu besar dan berhasil ‘menggoncang’ Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus memacu birahi poltik para petingginya. Perdebatan kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU) masih panas seputar boleh atau tidaknya para pemimpin struktural NU terjun ke dunia politik praktis. Belakangan, Masdar F. Mas’udi, Ketua Pengurus Besar NU, menyayangkan sikap kebanyakan pengurus NU yang lebih mengedepankan pemenuhan birahi politik mereka dibanding konsisten mengurusi NU (Jawa Pos, 18 Februari 2008). Tampaknya, ada simpang-siur pemahaman di kalangan Nahdliyin terkait Khittah NU yang baru beberapa minggu lalu disegarkan wacananya pada puncak peringatan Hari Lahir ke-82 NU, di Jakarta. Kesalahpahaman Khittah, tampaknya berangkat dari ambiguitas konseptualisasinya ketika dipertentangkan dengan kenyataan. Bukan hal aneh, sebagian petinggi NU berani mengambil bagian dalam aktivitas politik praktis. Ditambah lagi, keikutsertaan mereka sangat vulgar dan terang-terangan, tanpa risih dan malu pada organisasi NU-nya.
Sementara, Nahdliyin (baca: masyarakat) dipusingkan dengan kontradiksi sikap politik sebagian pengurus NU. Kegamangan masyarakat mengerucut pada persoalan: bolehkah tokoh yang aktif di kepengurusan NU, berpolitik praktis? Apakah keikutsertaan beberapa tokoh di kepengurusan NU dalam wilayah politik bisa dipahami sebagai salah satu langkah strategis NU? Sebelum menjawab persoalan di atas, ada baiknya memahami terlebih dulu posisi dan peran NU itu sendiri.Sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, NU harus mampu mensinergikan antara tiga peran utamanya, yaitu: (1) menanamkan corak keberagamaan tradisional yang moderat dan toleran (Bruinessen:1999:3-8); (2) memberdayakan masyarakat di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya; dan, secara umum, (3) mempertahankan, membangun, dan membangun bangsa dan negara. Tiga pilar utama peran NU kemudian disarikan dalam rumusan strategi politis sebagai senjata top-down, di samping senjata bottom-up melalui pemberdayaan dan pendekatan sosio-kultural. Strategi politik yang dimaksud terbagi tiga; pertama, politik kebangsaan. Nahdlatul Ulama (NU) punya tanggung jawab mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menolak bentuk disintegrasi apa pun. Fatwa Jihad NU pada Oktober 1945 dan tausiyah tentang ishlah 1998 adalah fakta sejarah sebagai bentuk penerjemahan politik kebangsaan NU. Kedua, politik kerakyatan. NU memahami agama tidak melulu sebagai “biro perjalanan ke surga”, tetapi lebih sebagai agen perubahan sosial.
Politik kerakyatan menemukan bentuknya dalam pemberdayaan masyarakat, pendampingan dan perjuangan atas hak-hak rakyat dan kaum tertindas. Peningkatan dan pemerataan pendidikan, dakwah keagamaan, pemberdayaan ekonomi kecil-menengah terus dimaksimalkan guna mewujudkan civil society. Ketiga, politik kekuasaan atau bisa disebut politik NU. Guna memuluskan perjuangan mewujudkan civil society dan kemajuan bangsa, NU menganggap perlu mengambil peran dalam perpolitikan.
Jalur politik menjadi salah satu pintu efektif mewujudkan mimpi terciptanya bangsa yang beradab. Politik NU adalah strategi aktualisasi peran NU dalam ranah politik bangsa ini.Persoalan muncul dalam hal memahami politik kekuasaan NU yang terakhir tadi. Merujuk Khittah pada Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur (Jatim), 1984, NU sejatinya mengambil jarak dengan partai politik (parpol) dan kekuasaan. Maksudnya, kontribusi NU pada ranah politik praktis dibatasi pada perannya sebagai kontrol dan menyumbang gagasan balik (solusi) sebagai hasil pembacaan utuh atas problem bangsa. NU semestinya mampu menempatkan diri: kapan bersinergi dan kapan membuat jarak dengan kekuasaan dan parpol.
Dengan moderasi sikap NU seperti itu, peran pemberdayaan masyarakat tidak akan terabaikan. Kekeliruan menerjemahkan politik kekuasaan NU menghadirkan fenomena politisasi NU. NU dijadikan kendaraan oknum tertentu untuk memuaskan hasrat politik dan kepentingan mereka sendiri. Peran NU sedemikian rupa ditundukkan ke dalam kepentingan yang berdimensi pribadi, kelompok, dan golongan. Tampaknya, perwujudan politisasi NU dalam politik praktis sangat kental terutama pada momen pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum nasional.Momen pemilihan gubernur Jatim 2008, menampakkan adanya indikasi politisasi NU. Bahkan, di beberapa daerah di Jatim, jabatan pengurus NU disandingkan dengan jabatan publik sekaligus. Alih-alih, kenyataan itu dianggap lumrah terjadi sehingga tak mampu membuka mata para petinggi NU untuk berusaha menyelesaikan persoalan itu.Murni terjun di ranah politik praktis tanpa menanggalkan baju ke-NU-annya adalah penyimpangan khitah NU—kalau bukan pengkhianatan.
Adapun peran politik NU tidak lalu hanya diterjemahkan secara telanjang untuk berkecimpung langsung di dunia politik praktis.Butuh ketegasan dan komitmen NU, secara keorganisasian, terhadap pengurusnya yang terlibat di politik praktis. Memilih Khittah, berarti tidak mentolerir ‘pengkhianatan’ atasnya. Jangan sampai Khittah NU dituduh hanya sekedar kedok untuk melindungi syahwat politik orang tertentu.Lebih jauh, tuntutan dipenuhinya ‘takdir’ Khittah ialah dalam rangka mempertegas garis gerak sosio-politik NU itu sendiri demi tercapainya pencerahan dan transparansi politik bagi bangsa (Masmuni Mahatma: 2005:14). Tanpa ketegasan, Khittah akan berhenti sebatas wacana di satu sisi, dan makin meningkatnya libido politik sebagian nakhoda NU untuk.

Catatan Akhir Tahun 2008

Undang-Undang Dasar 1945 memberikan adanya jaminan bagi setiap orang untuk menikmati hak-hak asasi dan kebebasan dasarnya. Bahwa negara, terutama pemerintah mempunyai kewajiban sebagaimana dimandatkan di dalam konstitusi untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia. Mencermati kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan pengaduan-pengaduan yang diterima sepanjang 2008, maka Komisi Nasional Hak Asasi (Komnas HAM) menyampaikan butir-butir pernyataan sebagai berikut:
  1. Dari sudut standard setting selama setahun terakhir menunjukkan sejumlah kemajuan dalam perlindungan dan pemajuan hak asasi. Perbaikan tekstual, secara khusus pada 2008, tampak dari diundangkannya sejumlah legislasi dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Selain itu, telah pula tersedia mekanisme untuk mereview berbagai kebijakan dan perangkat peraturan perundangan. Berbagai persoalan perenial hak asasi seperti paham universalitas, justiciability, dan agenda mematahkan impunitas mulai menemukan jalan keluarnya. Meskipun demikian kapasitas dan kecepatan negara merespons penyelesaian hukum berbagai kasus pelanggaran hak asasi masih sangat rendah. Perumusan standard setting di tingkat nasional belum diimbangi dengan penegakannya, terutama dalam pengungkapan kebenaran, pemberian keadilan bagi korban, dan perlindungan bagi kelompok rentan.

Hak Sipil dan Politik

  1. Dalam konteks hak sipil dan politik jaminan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia khususnya hak sipil dan politik mengalami kemajuan berarti dalam tataran normatif dan institusional. Terdapat berbagai produk hukum yang dimaksudkan untuk memberikan penghormatan dan perlindungan hak ini. Menyangkut Hak-hak dan kebebasan sipil warga diperkuat dengan diundangkannya Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Namun demikian, sejumlah peraturan perundang-undangan justru mengurangi kebebasan dan penghormatan hak-hak warga negara seperti Undang-Undang Undang-Undang No 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Komnas HAM mencermati bahwa munculnya ketentuan-ketentuan yang multi tafsir dan kontroversial justru dikhawatirkan merupakan bentuk intervensi negara atas kehidupan dan hak asasi manusia, terutama yang berdampak langsung pada hak dan kebebasan dasar kelompok-kelompok minoritas, terutama kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transjender) dan berpeluang mengakibatkan terjadinya pelanggaran kewajiban negara untuk menghormati hak asasi manusia.

    • Reformasi institusional juga terjadi pada lembaga-lembaga yudisial berupa penguatan peran sejumlah lembaga state auxiliaries seperti Ombudsman Republik Indonesia melalui Undang-Undang No. 37 tahun 2008 dan mulai bekerjanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dapat menjadi mekanisme penegakan hak asasi. Berbagai kemajuan ini tampak membawa implikasi positif pada administrasi keadilan kebebasan politik, dan pelayanan publik. Yang kasat mata, terlihat menjamur berbagai organisasi rakyat maupun partai-partai politik, sementara berbagai pemilihan kepala daerah di tingkat lokal berlangsung relatif aman dan pengungkapan kasus-kasus korupsi juga terus berjalan.

    • Sepanjang 2008 berbagai kemajuan di bidang hak asasi manusia dan kebebasan dasar itu dihadang oleh perilaku kekerasan mayoritas atas kelompok minoritas agama maupun politik. Para pemeluk agama minoritas maupun aliran kepercayaan berikut kelompok-kelompok yang mendukungnya diperlakukan bukan saja secara diskriminatif, namun juga mengalami kekerasan fisik dan serangan terhadap sekolah-sekolah dan rumah ibadah, seperti yang masih dialami oleh seperti Jamaah Ahmadyah, Jamaah Al-Qiyadah Al Islamiyah Siroj Jaziroh, Gereja Tani Mulya, dan Gereja Kristen Pasundan Dayeuh Kolot. Selain itu, diskriminasi ini juga terjadi dalam bentuk peraturan-peraturan daerah syariat yang berdampak langsung terhadap penghormatan dan kebebasan dasar dari berbagai kelompok minoritas dalam masyarakat. Ironisnya, dalam menghadapi masalah demikian negara cenderung melakukan pembiaran bahkan mengkriminalkan korban.

    • Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah di mana terdapat jurang yang lebar antara yang landasan normatif dan penegakannya. Praktik penyiksaan masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat-tempat lain terutama di tempat-tempat dimana orang dirampas kebebasannya, sementara di tingkat nasional belum tersedia mekanisme nasional yang efektif untuk pencegahan penyiksaan. Selain itu, Komnas HAM juga mengamati sejumlah kasus salah tangkap (seperti pada kasus Imam Hambali alias Kemad dan David Eko Priyanto), dan berbagai kekerasan yang dilakukan dalam operasi preman. Selama 2008 ini, Komnas HAM mencatat bahwa sistem hukum dan jajaran aparatur negaranya belum mampu mengungkap dan menjawab kasus pembunuhan Munir, aktivis Hak Asasi Manusia.

    • Kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah diundangkannya Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM masih menumpuk di tangan penyidik. Bahkan sejak pengadilan HAM yang digelar di Makasar untuk kasus Abepura, hingga hari ini belum ada satu pun hasil penyelidikan Komnas HAM untuk kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, yang ditindaklanjuti oleh Kejaksaan untuk dibawa ke Pengadilan HAM. Debat prosedural dan politis tidak berkesudahan. Lemahnya perangkat legislasi tidak kunjung diantisipasi. Sampai dengan akhir tahun 2008 ini setidaknya 7 (tujuh) hasil penyelidikan Komnas HAM masih macet di Kejaksaan untuk kasus Penembakan mahasiswa Trisakti, kasus Mei 1998, kasus Semanggi I, Kasus Semanggi II, Kasus Wamena, Kasus Wasior, dan kasus penculikan aktivis 1997-1998.

    • Pelaksanaan hukuman mati selama 2008 masih menunjukkan angka yang tinggi. Pada periode Januari-Juli 2008 sebanyak 6 terpidana mati dieksekusi, dan diikuti dengan 3 orang terpidana mati bom Bali yang dilaksanakan pada Nopember 2008 yang lalu dan rencana eksekusi 2 orang terpidana mati lainnya pada akhir tahun ini. Bahkan, pada periode 18-19 Juli 2008 eksekusi terjadi dengan jarak waktu yang sangat pendek yaitu tidak lebih dari satu jam. Putusan mengenai hukuman mati yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konsititusi menjadi catatan yang memprihatinkan terkait dengan proses penegakan hukum yang berkeadilan dan memperhatikan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

    • Dalam konteks hak ekonomi, sosial, dan budaya (Hak Ekosob), masih ada pandangan yang melihat hak ekosob bukan sebagai hak asasi, baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan masyarakat sipil, dan terutama sektor bisnis. Hak asasi manusia, terutama hak ekosob tidak digunakan sebagai paradigma dalam penyusunan kebijakan pembangunan (rights-based approach). Akibatnya, meskipun berbagai kebijakan pembangunan dibuat, namun hak warga negara tetap tidak terlindungi dan terpenuhi dan korban-korban pelanggaran terus menerus berjatuhan, seperti pada kasus-kasus penggusuran, kurang gizi/gizi buruk, pemutusan hubungan kerja secara massal, dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Kepentingan dan nilai-nilai fundamentalisme pasar justru dilindungi dan pada gilirannya meniadakan hak asasi terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

    • Sepanjang 2008, Komnas HAM mencatat masih tingginya tindakan penggusuran rumah-rumah dan pemukiman rakyat. Bahkan tindakan-tindakan tersebut didukung dengan legislasi daerah dan anggaran yang cukup besar. Sebagian besar, penggusuran tersebut dilakukan tanpa memberikan solusi nyata kepada rakyat mengenai tempat tinggal yang baru yang semakin menunjukkan kegagalan Pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja dan pemukiman bagi rakyat miskin.

    • Komnas HAM mengamati secara serius permasalahan gizi buruk serta tingginya kematian ibu dan balita yang seperti fenomena gunung es karena jumlah balita (anak usia di bawah lima tahun) yang mengalami gizi buruk lebih dari asumsi yang sudah diperkirakan berbagai pihak, terutama untuk wilayah-wilayah terpencil. Berbagai kasus kurang gizi/gizi buruk dan berbagai masalah di bidang ekonomi, sosial dan budaya diamati juga meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan kebutuhan pokok lainnya. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinann telah dilakukan oleh negara, antara lain melalui Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri). Komnas HAM mencermati bahwa program BLT yang telah dilakukan, alih-alih mengurangi jumlah orang miskin tapi justru membuat orang miskin semakin tergantung. Komnas HAM juga mengamati bahwa upaya pengentasan kemisknan tidak dilakukan dengan memastikan terpenuhinya hak-hak eskonomi, sosial, dan budaya.

    • Persoalan semburan lumpur panas Lapindo Brantas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, telah mengakibatkan masalah pelik dari aspek teknis dan sosial. Pemerintah kewalahan menghentikan semburan, merelokasi warga yang tempat tinggalnya tergenang lumpur, dan meminta petanggungjawaban PT Lapindo Brantas Inc, sebagai operator eksplorasi sumur Banjar Panji, Sidoarjo. Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo, warga mendapat ganti rugi secara bertahap. Namun penyelesaian ganti rugi itu pun masih berlarut-larut dan korban masih belum juga mendapatkan hak-haknya. Lambannya sikap Pemerintah, ditambah lagi dengan masih dilakukannya negosiasi ulang untuk pembayaran ganti rugi tersebut memperlihatkan bahwa Pemerintah, tidak saja, abai terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak-korban, namun juga lemah dalam berhadapan dengan korporasi.

    • Berkaitan dengan perlindungan hak-hak buruh, Komnas HAM mencermati bahwa jaminan terhadap hak atas pekerjaan, hak-hak pekerja termasuk di dalamnya untuk mendapatkan upah yang adil, hak-hak untuk berserikat, terhalang oleh dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri,Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Nomor: PER.16/MEN/IX/2008, 49/2008, 932.1/M-IND/10/2008, 39/M-DAG/PER/10/2008 Tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global. Sesungguhnya, perlindungan negara kepada warganya harus meliputi perlindungan kelompok rentan, yang relatif tidak memiliki kesamaan kedudukan di dalam negara. Membiarkan buruh/pekerja berhadapan langsung dengan pengusaha dalam menentukan hak dan kewajiban masing-masing merupakan pengabaian hak-hak buruh sebagai bagian dari hak asasi yang seharusnya mendapat perlindungan dari Pemerintah, dan hal itu akan berimplikasi langsung pada semakin meluasnya pengangguran.

Dengan berbagai potret kondisi di atas, Komnas HAM memandang bahwa hak asasi manusia dan kebebasan dasar belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh selurh warga negara. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh, sistematis, dan menyeluruh agar kondisi hak asasi manusia dapat terwujud sebagaimana yang diamanahkan oleh Konstitusi Repubik Indonesia.

sumber http://www.komnasham.go.id/portal/id/content/catatan-akhir-tahun-2008

Submitted by admin on Wed, 12/10/2008 - 04:11.

Jakarta, 9 Desember 2009

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(KOMNAS HAM)